Kamis, 11 Agustus 2011

menangis

Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah
serta disegala macam yang diperlukan oleh
desa rintisan yang mereka dirikan jauh di
pedalaman, Abah Latif mengajak para
santri untuk sesering mungkin bersalat
malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan,
karena setiap kali memasuki kalimat “Iyyaka
na’budu “ Abah Latif biasanya lantas
terhenti ucapannya, menangis tersedu-
sedu bagai tak berpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang
amat berat untuk melampaui itu, Abah Latif
akan berlama-lama lagi macet lidahnya
mengucapkan “ Wa iyyaka nasta”in”. Banyak
di antara jamaah yang turut menangis,
bahkan terkadang ada satu dua yang lantas
ambruk ke lantai atau meraung-raung.
“Hidup manusia harus berpijak,
sebagaimana setiap pohon harus berakar,”
berkata Abah Latif seusai wirid bersama.
Mengucapkan kata-kata itu dalam Al-
Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya
yang nyata dalam kehidupan. ‘Harus’ di
situ titik beratnya bukan sebagai aturan,
melainkan memang demikianlah hakikat
alam, dimana manusia tak bisa berada
dan berlaku selain di dalam hakikat itu.”
“Astaghfirulloh, astaghfirulloh..,” gemeremang
mulut para santri.
“Jadi, anak-anakku,” beliau melanjutkan, “apa
akar dan pijakan dalam mengucapkan kepada
Allah ..Iyyaka na’budu?”.
“Bukankah tak ada salahnya mengucapkan
sesuatu yang toh baik dan merupakan
bimbingan Allah itu sendiri, Abah?”
bertanya seorang santri.
“Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak,
kita hanya boleh mengucapkan kehidupan.”
“Belum jelas benar bagiku, Abah?”.
“Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita
hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan.”
“Astaghfirullah, astaghfirullah..,” geremang
mulut para santri.
Dan Abah Latif meneruskan, “Sekarang ini
kita mungkin sudah mengucapkan “Iyyaka
na’budu”, kepada-Mu aku menyembah, tetapi
kaum Muslimin masih belum memiliki suatu
kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-
Mu kami menyembah, Na’budu.”
“Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses
dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai
diri pribadi serta kita sebagai ummatan
wahidah. Ketika sampai di kalimat “Na’budu”,
tingkat yang harus kita telah capai lebih dari
“abdullah”, yakni “Khalifatullah”. Suatu maqam
yang dipersyarati oleh kebersamaan kamu
muslim dalam menyembah Allah dimana
penyembahan itu diterjemahkan ke dalam
setiap bidang kehidupan.
Mengucapkan “Iyyaka na’budu “ dalam salat
mestilah memiliki akar dan pijakan di mana
kita kaum muslim telah membawa urusan
rumah tangga, urusan perniagaan, urusan
sosial dan politik
serta segala urusan lain untuk menyembah
hanya kepada Allah. Maka anak-anakku, betapa
mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah
kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran
tatkala harus mengucapan kata-kata itu?”
“Astaghfirulloh, astaghfirulloh..,” gemeremang
para santri.
“Al-fatihah hanya pantas diucapkan apabila
kita telah saling menjadi khalifatullah di
dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis
kita akan sungguh-sungguh tak tak
berpenghabisan karena dengan mengucapkan
“Wa iyyaka nasta’in”, kita telah secara terang-
terangan menipu Tuhan. Kita berbohong
kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam
sehari.Kita nyatakan bahwa kita meminta
pertolongan hanya kepada Allah, padahal
dalam sangat banyak hal kita lebih banyak
bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan
mekanisme yang pada hakikatnya melawan
Allah.”
Astaghfirullah, astaghfirullah..,” geremang
mulut para santri.
“Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam
dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-
perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-
urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar,
ke kantor-kantor, ke panggung-panggung
dunia yang luas: tekunilah, temukanlah
salah ucapan-ucapanku kepadamu.Kemudian
peliharalah kepekaan dan kesanggupan
untuk tetap bisa menangis.Karena
alhamdulillah, sampai akhir hidup kita hanya
diperkenankan untuk menangis karena
keadaan-keadaan itu : airmata saja pun
sanggup mengantarkan kita kepada-Nya.”
**
Note :
Esei ini diambil dari buku “Seribu Masjid Satu
Jumlahnya”, Penerbit Mizan 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar