Jumat, 12 Agustus 2011

desa tegal gubug

Sejarah Terbentuknya
Desa Tegalgubug
Berdasarkan kronologis sejarah. bahwa
terbentuknya Desa Tegalgubug tak lepas dari
perjalanan Sejarah masa lampau terbukti dari
pendiri Desa Tegalgubug yaitu seorang pengawal
Kanjeng Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati) Salah satu wali kutub dari wali
songo. Seorang pengawal/seorang panglima
tinggi tersebut bernama Syaikh Muhyiddin
Waliyuallah / Syaikh Abdurrohman / Ing Singa
Sayakh syayuda atau lebih dikenal dengan Ki
Gede Suropati (Mbah Suro).
Sebagaimana kilasan Sejarah dibawah ini:
Setelah perang antara Kerajaan Telaga (kerajaan
cikijing,majalengka) dan Kerajaan Galuh (kerajaan
Jatiwangi,majalengka) melawan kesultanan
Cirebon, kerajaan Telaga dan Galuh dapat
ditaklukan, akhirnya masyarakat Telaga memeluk
Islam
Kemudian Sunan Gunung Jati dalam penyiaran
Agama Islam di Negeri Talaga dan Galuh
mengutus beberapa orang Gegeden yang
memiliki banyak ilmu dan kesaktian tingggi, untuk
memberikan pengawasan terhadap tanah
taklukan kesultanan Cirebon, kerana masih ada
pepatih yang masih belum memeluk Agama
Islam. Diantara Gegede yang diutus itu adalah
Syaikh Suropati / Ki Suro. Seorang Gegede yang
terkenal sakti mandraguna yang berasal dari
Negeri Arab (sumber lain mengatakan dari Mesir
dan Baghdad). Yang nama aslinya yaitu Syaikh
Muhyiddin Waliyullah / Syaikh Abdurrahman,
yang sudah dua tahun tinggal di keraton Cirebon,
sabagai santi (murid) Sunan Gunung Jati, lalu
setelah dianggap cukup ilmunya oleh Sunan
Gunung Jati beliau diutus untuk membantu
menyebarkan Ajaran Islam keseluruh pelosok
penduduk Jawa Barat, dalam perjalanan
penyebaran Ajaran Islam banyak mendapat
tanggapan baik dari rakyat, namun tak jarang
pula rintangan yang dihadapinya, beliau harus
bertanding melawan penggedean pedukuhan
tersebut. Namun berkat kesaktian ilmuny ayng
mandraguna mereka dapat ditaklukan dan
mereka mau memeluk Agama Islam.
Lalu atas jasa dan ilmu kesaktianya, Syaikh
Muhyiddin diangkat oleh Sunan Gunung Jati
menjadi pepatih unggulan / panglima tinggi
(pengawal Sunan) dinegeri Cirebon dengan gelar
Ki Gede Suropati. Setelah pemberian gelar
tersebut Kanjeng Sunan memerintahkan Ki Suro
bertandak ke pondok Ki Pancawal (seorng
pembesar kerajaan talaga) untuk membawakan
kitab suci Al-quran yang berjumlah banyak
diperuntukan sebagai pedoman di Negeri Talaga
dan Galuh. Namun ditengah jalan perjalanan
menuju negeri Talaga Ki Suro menemui adegan
sayembara merebutkan seorang putrid cantik,
barang siapa yang mampu mengalahkan Ki
Wadaksi (pembesar kerajaan talaga) akan
dijodohkan / dikawinkan dengan putrinya yang
bernama Nyi Mas Wedara, lalu Ki Suro ikut dalam
sayembara tersebut Ki Suro hanya ingin
mengetahui ilmu yang dimiliki oleh Ki Wadaksi,
akhir Ki Suro dapat mengalahkan Ki Wadaksi dan
kemudian memeluk Agama Islam bersama-sama
muridnya. Tapi Ki Suro tidak menikahi Nyi Mas
Wedara, namun Putri Ki Wadaksi tersebut malah
diserahkan kepada Raden Palayasa yang
sebelunnya mereka saling mencintai.
Kemudian Ki Suro dibawa oleh Ki Pancawala di
pondoknya, dan dijamunya dengan jamuan
istimewa sambil menyerakan kitab suci Al-quran.
Dengan senang hati Ki Pancawala didatangi Ki
Suro, namun dalam jamuan itu Ki Suro terpesona
melihat putri Ki Pancawala yang bernama Nyi Mas
Ratu Antra Wulan, dalam hati Ki Suro punya
keninginan untuk menjadikannya pendamping
hidupnya. Namun sebelum Ki Suro mengatakan
keinginannya untuk meminang Nyi Mas Ratu
Antra Wulan, Ki Pancawala sudah mengatakan
bahwa putrinya akan diserahkan kepada Sunan
Gunung Jati yang diharapkan menjadi Istrinya,
dan Ki Suro bersedia untuk mengatarkanya ke
keraton Cirebon.
Dalam perjalanan menuju keraton Cirebon,
sangatlah panjang dari masuk dan keluar hutan
sampai naik dan turun gunung. Dalam suatu
perjalanan mereka mendapati sebuah Gubug kecil
ditengah-tengah hutan belantara, Ki Suro
meminta beristiharat sebentar untuk
menghilangkan rasa letihnya. Setelah itu mereka
melanjutkan perlajalanannya menuju keraton
Cirebon, namun sebelum Ki Suro menlajutkan
perjalanan tiba-tiba dikejutkan dengan kedatngan
Nyi Mas Rara Anten, yang meminta Nyi Mas Ratu
Antra Wulan untuk dijodohkan dengan putranya.
Kemudian terjadilah perang tanding yang seru
pada akhirnya Nyi Mas Ratu Anten dapat
dikalahkan.
Perjalanan dilanjutkan kembali, setelah sampainya
di keraton Cirebon, Ki Suro menyerahkan Nyi Mas
Ratu Antra Wulan dan menyampaikan amanat Ki
Pancawala kepada Sunun Gunung Jati. Namun
amanat Ki Pancawal yang menginginkan anaknya
menikah dengan Sunan Gunung Jati tidak diterima
dengan cara halus, karena Sunan Gunung Jati
sesungguhnya telah mengetahui bahwa Ki Suro
menyukai Nyi Mas Ratu Antra Wulan. Karena itu
Sunan Gunung Jati memerintahkan Ki Suro
menikahi Nyi Mas Rtau Antra Wulan.
Setelah Ki Suro dan Nyi Mas Ratu Antra Wulan
menjadi suami istri, mereka membangun
pedukuhan / perkampungan disebuah tegalan
ditengah-tengah hutan yang dahulu terdapat
sebuah gubug kecil yang mereka pernah singgahi
sewaktu perjalanan dari kerajaan Talaga menuju
keraton Cirebon.
Pedukuhan itu atas izin dan restu dari Sunan
Gunung Jati, dan diberi nama “Tegal Gubug” yang
mana nama tersebut terdiri dari dua suku kata
yaitu :
> Tegal artinya : Tanah yang dicangkul untuk
ditanami
> Gubug artinya : Rumah kecil yang terbuat dari
bambu dan atapnya dari daun tebu
> Tegal gubug : Sebuah rumah kecil yang sangat
sederhana terbuat dari bamboo, yang sekitarnya
terdapat tegalan (galengan) yang siap ditanami.
Peristiwa terbentuknya nama Tegal Gubug ini
terjadi sekitar 1489 M. [ Sekitar akhir abad ke 15 ]
pada saat kesultanan Cirebon dipimpin oleh
kanjeng Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati) Cirebon. Yang merupakan salah satu
Wali dari Walisongo, yang dituahkan ilmunya
oleh Rekan-rekannya.
Setelah terbentuk sebuah nama pedukuhan /
perkampungan Tegal Gubug, kemudian Ki Suro
melanjutkan misinya untuk terus menyebarkan
Ajaran Islam. Terbukti dengan pesatnya Agama
Islam disekitar Masyaratnya, yang ketika itu masih
mempercayai (menganut, menyembah) Agama
Nenek moyangnya yaitu : Animisme (aliran/
kepercayaan terhadap benda) dan Dinamisme
(aliran/kepercayaan terhadap Roh) dan Hindu,
Budha.
Narasumber :
1. KH. Rohmatullah
2. K. Miftah (mang tak Alm)
3. Ust Imron Rosyadi Syakur
4. K. Haris Zen
5. Ust Fikriyan (Sejarawan Tegalgubug)
6. Masduki Sarpin (Pakar Sejarah Cirebon)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar