Sabtu, 13 Agustus 2011

bung karno menangis

“Kami menggoyangkan langit,
menggempakan darat, dan menggelorakan
samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup
hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja
keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa
kuli. Bangsa yang rela menderita demi
pembelian cita-cita,” (Bung Karno)
Saya teramat yakin ungkapan Bung Karno itu
tidak bermaksud untuk merendahkan harkat dan
martabat bangsanya dan rakyatnya, namun
semata-mata untuk memacu bangsanya untuk
senantiasa bekerja keras mewujudkan impian
menjadi bangsa yang sejahtera lahir dan batin
serta mandiri.
Karena Bung Karno menyinggung nyinggung
tempe, mari luangkan waktu sejenak belajar
bersama tentang per-tempe-an. Jika anda pernah
jalan-jalan berada di sekitar Banyumas Jawa
Tengah, jangan pernah lupakan untuk mencicipi
tempe Mendoan, tempe khas Banyumas yang
enak dimakan saat siang atau sore hari dengan
dicocol saus kacang dan cabai merah dan tentu
saja disandingkan dengan teh nasgitel atau teh
panas legi kenthel. Tempe, sebuah makanan lauk
pauk ataupun camilan yang sangat terkenal di
Indonesia khususnya pulau Jawa. Tempe terbuat
secara umum dari biji kedelai yang
difermentasikan oleh apa yang disebut dengan
“ ragi atau kapang tempe”. Selain harga yang
terjangkau, tempe juga mengandung gizi tinggi
dan mengandung anti oksidan untuk melawan
radikal bebas. Dan ternyata? Tempe sudah ada
sejak abad 16 utamanya di kerajaan Mataram.
Saat ini tempe sudah menyebar sampai ke
mancanegara seperti Belanda, Amerika Serikat
dan Jepang.
Kedelai merupakan bahan baku utama tempe.
Lebih dari 50 persen kebutuhan kedelai digunakan
untuk pembuatan tempe. Kedelai juga merupakan
komoditas pangan terpenting ketiga setelah padi
dan jagung. Namun tahukah anda bahwa
ternyata Indonesia sudah menjadi pengimpor
kedelai sejak tahun 1976? Walaupun sempat
membukukan produksi tertinggi pada tahun 1992
yaitu sebesar 1.88 juta ton akan tetapi produksi
kedelai makin turun dari tahun ke tahun, dan
diperparah dengan desakan IMF pada tahun 1998
kepada Indonesia untuk membuka kran impor
kedelai secara bebas artinya monopoli impor
sudah tidak diberikan lagi oleh Bulog. Disusul
pada tahun 2000 yang terkait dengan keputusan
pemerintah pasca reformasi dan desakan
pemerintah Amerika Serikat (sebagai produsen
kedelai terbesar di dunia) yang akan memberikan
kredit lunak kepada importir yang bersedia
mengimpor kedelai dari AS berupa kredit tanpa
bunga sampai enam bulan, maka semakin
merosotlah produksi kedelai tanah air.
Catatan perjalanan waktu bangsa ini menorehkan
bahwa hanya untuk urusan bahan baku tempe
yang merupakan lauk pauk kegemaran
masyarakat ini saja sulit sekali untuk mandiri.
Belumlah kita berbicara tentang beras dan garam
yang saat ini memerlukan pasokan dari luar
negeri alias import. Menurut hemat saya, dengan
melakukan import komoditas pangan adalah
langkah yang paling mudah, instan dan tanpa
kerja keras dari pada harus memproduksi sendiri
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, saya
pun menduga pemerintah saat ini mempunyai
pola pikir yang demikian dengan segudang
argumentasi pendukungnya.
Ketergantungan akan import komoditas pangan
merupakan indikasi ketahanan pangan negeri ini
patut dipertanyakan, imajinasikan negara-negara
pengeksport komoditas pangan yang selalu
menjadi gantungan negeri ini tidak dapat lagi
memasok komoditasnya karena gangguan cuaca
ekstrem misalnya atau tiba-tiba mengalihkan
lahan pertaniannya menjadi komoditas lain yang
lebih menguntungkan menjadi bahan baku
biofuel misalnya. Maka dapatlah terjadi krisis
pangan di negeri ini, akibatnya..hemm saya dan
anda dapat menduganya.
Dengan luas daratan 1,92 juta km persegi dan
jumlah penduduk 237 juta jiwa Indonesia
merupakan negara yang potensial dalam
mengelola dan memenuhi kebutuhan komoditas
pangan, sekaligus potensial dalam
mengkonsumsinya atau dapat dikatakan negara
yang mempunyai potensi pemasaran yang baik
asal dikelola oleh pemerintah dan birokrasi yang
sanggup bekerja keras mewujudkan kemandirian
bangsa tanpa mental cengeng, korup dan
berorientasi instant semata. Budaya suap, korup
dan lebih memilih dilayani daripada melayani
(walaupun saya yakin tidak semuanya bermental
demikian), merupakan mental birokrasi yang
harus dikikis habis untuk segera mewujudkan
kemandirian bangsa dalam segala hal. Kondisi ini
semakin diperparah oleh elite politik yang
meributkan hal-hal yang tidak substansial untuk
kesejahteraan masyarakatnya alias pepesan
kosong belaka. Dan menjadi hal yang salah
kaprah apabila masyarakatnya mencontoh
mental-mental buruk tersebut, atau bahkan
sebaliknya? Mental birokrasi adalah cermin
masyarakatnya?
Sambil makan tempe goreng yang berbahan
baku kedelai import, saya pun mendengar lamat-
lamat Bung Karno menangis dalam
peristirahatannya…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar