Rabu, 03 Agustus 2011

kelopak jiwa

Sang Maut turun dari
hadirat Tuhan menuju ke bumi. Ia terbang
melayang-layang di atas sebuah kota dan
mengamati seluruh penghuni dengan tatapan
matanya. Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang
melayang-layang dengan sayap-sayap
mereka, dan orang-orang yang terlena di
dalam kekuasaan sang lelap.
Ketika rembulan tersungkur kaki langit, dan
kota itu berubah warna menjadi hitam legam,
Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di
tengah pemukiman -- berhati-hati tidak
menyentuh apapun -- sampai tiba di sebuah
istana. Dia masuk dan tak seorang pun kuasa
menghalangi. Dia tegak di sisi sebuah ranjang
dan menyentuh pelupuk matanya, dan orang
yang tidur itu bangun dengan ketakutan.
Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya,
dia menjerit dengan suara ketakutan,
"Menyingkirlah kau dariku, mimpi yang
mengerikan! Pergilah engkau makhluk jahat!
Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin
kau masuk istana ini? Apa yang kau inginkan?
Minggatlah, karena akulah empunya rumah ini.
Enyahlah kamu, kalau tidak, kupanggil para
budak dan para pengawal untuk
mencincangmu menjadi kepingan!"
Kemudian Maut berkata dengan suara lembut,
tapi sangat menakutkan, "Akulah kematian,
berdiri dan membungkuklah kepadaku."
Dan si kaya berkuasa itu bertanya, "Apa yang
kau inginkan dariku sekarang, dan benda apa
yang kau cari? Kenapa kau datang ketika
pekerjaanku belum selesai? Apa yang kau
inginkan dari orang kuat seperti aku? Pergilah
sana, carilah orang-orang yang lemah, dan
ambillah dia! Aku ngeri oleh taring-taringmu
yang berdarah dan wajahmu yang bengis,
dan mataku bergetar menatap sayap-
sayapmu yang menjijikan dan tubuhmu yang
memuakkan."
Setelah diam beberapa saat dan tersadar dari
ketakutannya, ia menambahkan, "Tidak, tidak,
Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa
yang telah kukatakan, karena rasa takut
membuat diriku mengucapkan kata-kata yang
sesungguhnya terlarang. Maka ambillah
emasku seperlunya atau nyawa salah seorang
dari budak, dan tinggalkanlah diriku... Aku
masih memperhitungkan kehidupan yang
masih belum terpenuhi dan kekayaan pada
orang-orang yang belum terkuasai. Di atas laut
aku memiliki kapal yang belum kembali ke
pelabuhan, dan pada hasil bumi yang belum
tersimpan. Ambillah olehmu barang yang kau
inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku punya
selir, cantik bagai pagi hari, untuk kau pilih,
Kematian. Dengarlah lagi : Aku punya seorang
putra tunggal yang kusayangi, dialah biji
mataku. Ambillah dia juga, tapi tinggalkan
diriku sendirian."
Sang Maut itu menggeram, engkau tidak kaya
tapi orang miskin yang tak tahu diri. Kemudian
Maut mengambil tangan orang itu, mencabut
kehidupannya, dan memberikannya kepada
para malaikat di langit untuk memeriksanya.
Dan maut berjalan perlahan di antara orang-
orang miskin hingga ia mencapai rumah
paling kumuh yang ia temukan. Ia masuk dan
mendekati ranjang di mana tidur seorang
pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut
menyentuh matanya, anak muda itu pun
terjaga. Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di
sampingnya, ia berkata dengan suara penuh
cinta dan harapan, "Aku di sini, wahai Sang
Maut yang cantik. Sambutlah ruhku, impianku
yang mengejawantah dan hakikat harapanku.
Peluklah diriku, kekasih jiwaku, karena kau
sangat penyayang dan tak kan meninggalkan
diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan
kanan kebenaran. Jangan tinggalkan daku."
"Aku telah memanggilmu berulang kali,
namun kau tak mendengarkan. Tapi kini kau
telah mendengarku, karena itu jangan
kecewakan cintaku dengan peng-elakan diri.
Peluklah ruhku, Sang Maut terkasih."
Kemudian Sang Maut meletakkan jari-jari
lembutnya ke atas bibir yang bergetar itu,
mencabut nyawanya, dan menaruhnya di
bawah sayap-sayapnya.
Ketika ia naik kembali ke langit, Maut menoleh
ke belakang -- ke dunia -- dan dalam bisikan ia
berkata, "Hanya mereka yang di dunia mencari
Keabadian-lah yang sampai ke Keabadian itu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar