Jumat, 22 Juli 2011

tanganmu ibu..

Tanganmu, Ibu…,
Ibumu adalah
Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan
(Emha Ainun Najib)
Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan
Ibu begitu anggun menjumpai saya di depan
pintu. Gegas saya rengkuh punggung
tangannya, menciumnya lama. Ternyata
rindu padanya tidak bertepuk sebelah
tangan. Ibu juga mendaratkan kecupan
sayang di ubun-ubun ini, lama.
“Alhamdulillah, kamu sudah pulang” itu
ucapannya kemudian. Begitu masuk ke
dalam rumah, saya mendapati ruangan yang
sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.
Ba’da Ashar,
“Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah
mendidih”. Gegas saya angkat pancinya dan
dahipun berkerut, panci kecil itu diisi
setengahnya. “Ah mungkin hanya untuk
membuat beberapa gelas teh saja” pikir
saya
“Eh, tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu
mau menyiram”. Sebuah ember putih ukuran
sedang telah terisi air, juga setengahnya.
Saya memindahkannya ke halaman depan
dengan mudahnya. Saya pandangi bunga-
bunga peliharaan Ibu. Subur dan terawat.
Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga.
“Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras
dulu, abis itu jemur di pagar yah” pinta Ibu.
“Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam”
sekilas saya memandang Ibu yang tengah
bersusah payah memasak. Tumben Ibu
begitu banyak meminta bantuan, biasanya
beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.
Sesosok wanita muda, sedang menyapu
ketika saya masuk rumah sepulang dari
ziarah. “Neng..” itu sapanya, kepalanya
mengangguk ke arah saya. “Bu, siapa itu.?”
tanya saya. “Oh itu yang bantu-bantu Ibu
sekarang” pendeknya. Dan saya semakin
termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka
mengeluarkan uang untuk mengupah orang
lain dalam pekerjaan rumah tangga.
Pantesan rumah terlihat lebih bersih dari
biasanya.
Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab
ketika saya menemaninya tilawah selepas
maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang
penunjuk yang terbuat dari kertas koran
yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf al-
qur’an. Dan mata ini memandang lekat pada
jemarinya. Keriput, urat-uratnya menonjol
jelas, bukan itu yang membuat saya
tertegun. Tangan itu terus bergetar. Saya
berpaling, menyembunyikan bening kristal
yang tiba-tiba muncul di kelopak mata.
Mungkinkah segala bantuan yang ia minta
sejak saya pulang, karena tangannya tak
lagi paripurna melakukan banyak hal?
“Dingin” bisik saya, sambil beringsut
membenamkan kepala di pangkuannya. Ibu
masih terus tilawah, sedang tangan kirinya
membelai kepala saya. Saya memeluknya,
merengkuh banyak kehangatan yang
dilimpahkannya tak berhingga.
Adzan isya berkumandang,
Ibu berdiri di samping saya, bersiap menjadi
imam. Tak lama suaranya memenuhi udara
mushala kecil rumah. Seperti biasa surat
cinta yang dibacanya selalu itu, Ad-Dhuha
dan At-Thariq.
Usai shalat, saya menunggunya membaca
wirid, dan seperti tadi saya pandangi lagi
tangannya yang terus bergetar. “Duh Allah,
sayangi Mamah” spontan saya memohon.
“Neng.” suara ibu membuyarkan lamunan
itu, kini tangannya terangsur di depan saya,
kebiasaan saat selesai shalat, saya rengkuh
tangan berkah itu dan menciumnya.
“Tangan ibu kenapa?” tanya saya pelan.
Sebelum menjawab, ibu tersenyum maniss
sekali.
“Penyakit orang tua”
“Sekarang tangan ibu hanya mampu
melakukan yang ringan-ringan saja, irit
tenaga” tambahnya.
Udara semakin dingin. Bintang-bintang di
langit kian gemerlap berlatarkan langit biru
tak berpenyangga. Saya memandangnya
dari teras depan rumah. Ada bulan yang
sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan
beranjak jauh. Dalam hening itu, saya
membayangkan senyuman manis Ibu
sehabis shalat isya tadi. Apa maksudnya?
Dan mengapakah, saya seperti melayang.
Telah banyak hal yang dipersembahkan
tangannya untuk saya. Tangan yang tak
pernah mencubit, sejengkel apapun
perasaannya menghadapi kenakalan saya.
Tangan yang selalu berangsur ke kepala
dan membetulkan letak jilbab ketika saya
tergesa pergi sekolah. Tangan yang selalu
dan selalu mengelus lembut ketika saya
mencari kekuatan di pangkuannya saat hati
saya bergemuruh. Tangan yang
menengadah ketika memohon kepada Allah
untuk setiap ujian yang saya jalani. Tangan
yang pernah membuat bunga dari pita-pita
berwarna dan menyimpannya di meja
belajar saya ketika saya masih kecil yang
katanya biar saya lebih semangat belajar.
Sewaktu saya baru memasuki bangku kuliah
dan harus tinggal jauh darinya, suratnya
selalu saja datang. Tulisan tangannya
kadang membuat saya mengerutkan dahi,
pasalnya beberapa huruf terlihat sama, huruf
n dan m nya mirip sekali. Ibu paling suka
menulis surat dengan tulisan sambung.
Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan
puisi yang diciptakannya sendiri. Ada
sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu
memang suka menyanjung :
Kau adalah gemerlap bintang di langit
malam
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah pendar rembulan di angkasa
sana,
Bukan!, kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap
waktu,
Bukan!, kau lebih dari itu
Kau adalah Sinopsis semesta
Itu saja.
Tangan ibunda adalah perpanjangan tangan
Tuhan. Itu yang saya baca dari sebuah buku.
Jika saya renungkan, memang demikian.
Tangan seorang ibunda adalah perwujudan
banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta,
ketulusan.. Pernahkah ia pamrih setelah
tangannya menyajikan masakan di meja
makan untuk sarapan? Pernahkan Ia
meminta upah dari tengadah jemari ketika
mendoakan anaknya agar diberi Allah
banyak kemudahan dalam menapaki hidup?
Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah
tangannya membereskan tempat tidur kita?
Pernahkah ia mengungkap balasan atas
semua persembahan
tangannya?..Pernahkah..?
Ketika akan meninggalkannya untuk
kembali, saya masih merajuknya “Bu,
ikutlah ke jakarta, biar dekat dengan anak-
anak”. “Ah, Allah lebih perkasa di banding
kalian, Dia menjaga Ibu dengan baik di sini.
Kamu yang seharusnya sering datang, Ibu
akan lebih senang” Jawabannya ringan. Tak
ada air mata seperti saat-saat dulu melepas
saya pergi. Ibu tampak lebih pasrah,
menyerahkan semua kepada kehendak
Allah. Sebelum pergi, saya merengkuh
kembali punggung tangannya, selagi
sempat , saya reguk seluruh keikhlasan
yang pernah dipersembahkannya untuk
saya. Selagi sisa waktu yang saya punya
masih ada, tangannya saya ciumi sepenuh
takzim. Saya takut, sungguh takut, tak dapati
lagi kesempatan meraih tangannya,
meletakannya di kening.
***
Bagaimana dengan kalian para sahabat? Engkau
sangat tahu, lewat tangannya kau ada, duduk di
depan komputer dan membaca tulisan saya ini.
Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau bisa
menjadi seseorang yang menjadi kebanggaan.
Engkau sangat tahu, dibanding siapapun juga.
Maka, usah kau tunggu hingga tangannya
gemetar, untuk mengajaknya bahagia. Inilah
saatnya, inilah masanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar