Jumat, 22 Juli 2011

selamat jalan bp maestro h.abdul adjib (baridin)

SENI tradisional tarling (gitar suling) identik
dengan Cirebon. Namun, bisa pula dikatakan
tarling identik dengan H Abdul Adjib (58). Dialah
seniman yang mengangkat pamor tarling hingga
bisa populer seperti sekarang.
Di tangan Abdul Adjib, tarling bukan lagi sekadar
seni musik yang mengandalkan instrumen gitar
dan suling, tetapi sejak tahun 1964 menjadi seni
pentas yang mempunyai daya pikat luar biasa.
Berbagai lapisan masyarakat senantiasa
merindukan kehadiran tarling saat pesta
pernikahan, khitanan, syukuran rumah baru,
pesta panen padi hingga pengangkatan kepala
desa.
Popularitas tarling kemudian juga mendorong
munculnya grup-grup tarling sejak pertengahan
1970-an hingga sekarang dengan berbagai
improvisasinya, seperti tarling dangdut, tarling
jaipong dan sebagainya. Namun, di antara
berbagai grup tarling yang bermunculan tersebut,
"Putra Sangkala" pimpinan Abdul Adjib tetap
menempati urutan teratas. Pesanan pentas tidak
pernah berhenti sepanjang tahun, bahkan untuk
permintaan pentas tidak bisa dilakukan dadakan
namun harus pesan dan antre sekitar tujuh
sampai delapan bulan sebelumnya.
Lagu-lagu tarling pun seolah tidak pernah berhenti
mengalir dari tangan Abdul Adjib. Lebih dari 300
lagu tarling telah diciptakan, antara lain yang
sangat populer, Penganten Baru, Sopir Inden,
Tukang Cukur, Kota Cirebon dan sejumlah lagu
lainnya yang direkam di piringan hitam, kaset
hingga CD. "Namun, saya tidak menikmati
keuntungan royalti dari popularitas lagu-lagu
tersebut karena semuanya dijual putus," keluh
Adjib.
Meski tidak menikmati keuntungan royalti, namun
nyatanya nama Abdul Adjib sangat melekat di
kalangan masyarakat Jawa Barat, terutama yang
bermukim di sekitar pesisir pantai utara Jawa
(Pantura). Penampilan Abdul Adjib dan grupnya
yang kini bernama "Putra Suara" memiliki daya
pikat luar biasa, sehingga penonton bisa terpaku
di depan panggung sepanjang malam hingga dini
hari terutama jika menampilkan lakon-lakon yang
sangat populer, seperti Baridin dan Martabakrun.
Di luar lakon tersebut, Abdul Adjib diakui banyak
pihak memiliki keistimewaan dalam suara,
improvisasi panggung dan membuat wangsalan
(semacam pantun) yang diiringi musik tarling.
Apa pun yang dilihat Adjib di atas panggung, bisa
langsung dibuat wangsalan yang mempesona
penonton mulai dari gadis remaja hingga nenek
renta.
***
Sampai pertengahan tahun 1950-an, irama musik
khas Cirebon yang ditambah gitar tersebut belum
dinamakan tarling. Kepala RRI Cirebon saat itu,
Fadjar Madrazi, menyebutnya Melodi Kota Udang
untuk acara musik yang diasuhnya dengan
menampilkan grup-grup musik yang sudah
sangat tenar ketika itu, seperti Kelana Jaya
pimpinan Jayana dan Nada Budaya pimpinan
Narto serta sinden beken saat itu seperti Nyi
Carini, Nyi Suteni, Nyi Tarwi dan Nyi Dariyem.
"Mungkin karena dalam perkembangannya
kemudian irama musik tersebut didominasi suara
gitar dan suling, masyarakat menyebutnya
tarling," kata Abdul Adjib, kelahiran Cirebon 9
Januari 1942.
Abdul Adjib yang saat itu masih berumur belasan
tahun dan duduk di bangku SMP, belum
berkecimpung di dunia musik tetapi lebih sering
tampil di grup sandiwara Gado-gado Remaja.
Kakaknya, seniman serba bisa, Askadi
Sastrasuganda, memberikan polesan musik pada
bakat seni Abdul Adjib. Hasil binaan ini tidak sia-
sia, karena dalam Festival Tarling se-Karesidenan
Cirebon tahun 1968, Abdul Adjib tampil sebagai
juara pertama mengalahkan seniman tarling yang
sudah sangat populer saat itu, Narto dan Jayana.
"Kemenangan ini sekaligus memunculkan
gagasan saya untuk memodifikasi tarling," kata
Abdul Adjib. Di tangannya, tarling bukan lagi
sekadar seni musik tetapi seni pentas yang
merupakan perpaduan antara seni tari, seni musik
dan seni drama.
"Perpaduan ini dimaksudkan agar tarling menjadi
lebih variatif, tidak sekadar menghibur tetapi bisa
memasukkan unsur pendidikan lewat drama dan
musik," kata Adjib. Karena itu beberapa lakon
drama pun disusun, antara lain yang sangat
populer hingga sekarang adalah Baridin,
menceritakan seorang pemuda miskin yang
cintanya ditolak oleh gadis cantik dari keluarga
kaya-raya.
Selain membuat berbagai lakon, Abdul Adjib tak
pernah kehabisan gagasan untuk terus
menciptakan lagu, mulai dari kisah yang terjadi di
masyarakat, kepiluan hidup, sindiran hingga lagu
yang bernada jenaka.
Produktivitasnya dalam menciptakan lakon dan
lagu, membuat grup tarling asuhannya sangat
populer. Pesanan untuk tampil tidak pernah
berhenti sepanjang tahun, bahkan pada masa
jayanya sekitar tahun 1970-an sering pentas lebih
dari 500 kali dalam setahun. "Kami terpaksa
pontang-panting, sebagian anggota tampil dulu
kemudian pindah ke tempat lain yang
berdekatan," kata Abdul Adjib.
Selain sibuk pentas mulai dari Banten hingga
Pekalongan, Jawa Tengah, Adjib harus pandai
mengatur waktu untuk rekaman di Jakarta.
Hingga kini puluhan piringan hitam, kaset hingga
CD lagu-lagu tarling sudah dihasilkan Adjib
bersama sinden andalan sekaligus istrinya, Uun
Kurniasih.
***
DI masa tuanya kini, Adjib lebih banyak
memberikan ceramah keagamaan di berbagai
majelis taklim. Undangan untuk memberikan
ceramah tak henti-hentinya mengalir dari satu
kota ke kota lain, terutama di Jawa Barat.
Meski demikian, permintaan untuk bermain tarling
tetap dia layani. "Bagaimanapun tarling sudah
menjadi bagian dan ladang hidup saya," ujar
pensiunan pegawai negeri sipil di lingkungan
Pemda Kotamadya Cirebon ini.
Obsesi sekaligus usaha yang sedang dirintisnya
saat ini adalah berupaya menempatkan tarling
agar bisa sejajar dengan bentuk kesenian daerah
lain, seperti lenong Betawi dan ludruk Jawa
Timur. Karena itu Adjib sedang berupaya keras
mencari tempat pementasan yang permanen di
Jakarta seperti Srimulat yang pernah manggung
di Taman Ria Jakarta.
Adjib merasa yakin, di Jakarta tarling akan
mampu bersaing dengan seni pertunjukan lain
dan tidak akan kehilangan peminat. Selain
banyaknya warga Cirebon dan Indramayu yang
bermigrasi ke Ibu Kota, pementasan tarling lebih
atraktif dan variatif karena merupakan paduan dari
seni musik, tari dan drama.
"Salah satu hal yang masih menjadi kendala
antara lain soal bahasa. Kalau mau ditonton
masyarakat lain di luar subetnis Cirebon, maka
tarling harus mau menggunakan bahasa
Indonesia seperti halnya ludruk dan Srimulat,"
kata Adjib.
Namun, di tengah upaya Adjib mengembangkan
seni tarling ke berbagai daerah termasuk Jakarta,
seniman-seniman tarling yang baru muncul
justru sering mengeluh karena merasa terdesak.
Dalam beberapa kali penampilan tarling, sinden
dan pemain drama yang belum tersohor justru
sering dipaksa penonton mempersingkat jalan
cerita, atau tarling ditampilkan tengah malam
setelah lagu-lagu dangdut. Bahkan ketika cerita
sudah mulai berjalan, kalangan muda yang
menyaksikan pementasan sambil menenggak
minuman beralkohol sering memaksa untuk
melantunkan lagu-lagu berirama dangdut.
"Pernah ada yang menolak, penonton lalu
melempari pemain tarling," keluh Adjib dengan
nada prihatin. Tidak mengherankan jika kemudian
di beberepa daerah, aparat pemerintah melarang
atraksi hiburan termasuk tarling pada malam hari,
dengan alasan sering menimbulkan keributan
massa penonton. Tarling sering jadi kambing
hitam terjadinya keributan.
"Ini tudingan yang menyakitkan, tetapi sekaligus
tantangan bagi seniman tarling untuk lebih kreatif
agar bisa lebih banyak menarik minat penonton,"
kata Abdul Adjib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar