Jumat, 22 Juli 2011

Seandainyaya malaikat pembagi rezki bertanya
kepada seseorang dari kita, “Maukah kamu saya
beri 10 juta rupiah dengan syarat kamu akan
mengeluarkan 5 % (yakni 500 ribu rupiah) untuk
zakat dan sedekahnya? Atau aku beri kamu
seratus juta rupiah dengan syarat kamu
mengeluarkan 10 % (yakni sepuluh juta rupiah)
untuk zakat dan sedekahnya? Atau aku beri kamu
seribu juta rupiah (1 milyar) dengan syarat Anda
mengeluarkan 20% (yakni 200 juta rupiah) untuk
zakat dan sedekahnya?”
Sudah barang tentu kita akan memilih tawaran
yang terakhir. Bukankah dengan membayar zakat
dan sedekahnya sebanyak 200 juta rupiah
sekalipun, kita masih memiliki 800 juta rupiah,
jauh di atas tawaran pertama dan kedua? Dan
sudah barang tentu kita akan mengeluarkan
kewajiban kita itu tetap dengan hati senang dan
wajah gembira.
Sayangnya, malaikat tidak mengambil janji itu
sebelum memberikan kepada kita rezki dari Allah
SWT yang berlimpah ruah. Sehingga, jika kita
memiliki kekayaan senilai 10 juta, atau 100 juta,
atau 1 Milyar, lalu diminta mengeluarkan 2,5%-
nya saja, apalagi 20% -nya, kita akan merasa
seolah-olah hal itu sebuah kerugian yang sia-sia!
“Uangku sebanyak itu harus kuberikan kepada
orang lain? Padahal aku sudah bekerja dengan
susah payah, dan dengan segala kepintaranku,
berhasil mengumpulkan kekayaanku ini?! Dan
kepintaranku diperoleh dengan sekolah tinggi dan
berbiaya mahal!!” begitu kata (setan di) hati kita.
Lalu kita akan membuat beberapa dalih dan
alasan: ekonomi sedang lesu, atau pasaran sepi,
atau keuntungan makin menipis, atau keperluan
keluarga makin membengkak, dan seribu dalih
lainnya.
Mengapa pandangan kita hanya tertuju kepada
yang 2,5% atau 5% atau 10% atau 20% yang kita
anggap uang `hilang`? Mengapa kita tidak melihat
ke arah kekayaan kita yang masih tertinggal, yang
jumlahnya jauh lebih besar? Bahkan zakat dan
sedekah kita itu sebetulnya tidak hilang. Justru
itulah yang tetap milik kita, tersimpan rapi di sisi
Allah Swt. (kalau kita benar-benar beriman kepada
Allah dan Hari Akhir).
Mengapa kita tidak bersyukur karena Allah SWT
masih mempercayai kita mengelola sejumlah
kekayaan yang begitu besar? Apa sih
keistimewaan kita sehingga Allah melapangkan
rezki kita di saat banyak orang di sekeliling kita
sedang menderita kemiskinan bahkan kelaparan?
Apakah kita tidak takut bahwa kekayaan kita itu
dengan mudahnya dapat diambil kembali oleh
Sang Maha Pemberi, tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu? Atau kita atau anggota keluarga
kita diuji oleh-Nya dengan penyakit tertentu
sehingga kita tidak dapat lagi menikmati kekayaan
itu bahkan kekayaan itupun ikut ludes untuk biaya
berobat yang sangat mahal? Atau kita diuji
dengan cobaan dan musibah dari-Nya melalui
perampokan, kebakaran, kebanjiran atau bahkan
gempabumi yang meluluh-lantakan rumah
dengan segala isinya yang menjadi ‘milik’ kita???
(Na`udzu billah min dzalik!)
Jangan lagi beralasan sepinya pasar atau
kurangnya keuntungan, atau banyaknya
keperluan keluarga. Zakat dan sedekah itu diambil
dari keseluruhan harta kita, bukan dari laba
perdagangan, sehingga tidak ada kaitannya
dengan pasar sepi dan sebagainya. Zakat dan
sedekah itu adalah manifestasi rasa syukur kita
kepada Dia (Allah) yang telah memberi kita rezki.
Justru dengan mengeluarkannya, insya Allah
harta kita yang masih tersisa semakin berkah,
menjadi suci dan menyucikan dan menjadi bekal
amal shalih di yaumil akhir.
Mari mengulurkan tangan kita dengan niat tulus,
hati lapang dan wajah ceria kepada saudara-
saudara kita, kerabat dan sahabat kita dan anak-
anak kita yang se-iman dan se-akidah yang
sangat memerlukan zakat dan sedekah kita untuk
keperluan dan nafkah hidupnya. Atau kepada para
tetangga yang tidak mampu membiayai
pendidikan anak-anak mereka, sementara kita
memanggil guru-guru yang mumpuni untuk
memberikan pelajaran tambahan bagi anak-anak
kita di rumah dengan bayaran mahal. Atau
kepada para penghuni gubuk-gubuk reyot di
pedalaman kampung atau di pinggir kali dan di
dekat tumpukan sampah. Atau kepada para
pemulung yang mengais-ngais sisa makanan di
antara sampah dan kotoran. Atau kepada anak-
anak yatim yang mungkin terpaksa menjadi
anak-anak jalanan, pengamen dan pengemis.
Atau kepada para janda yang dicerai atau ditinggal
mati suaminya dan kini hidup serba kekurangan.
Mereka dan orang-orang seperti mereka adalah
termasuk `orang-orang yang hancur hatinya`,
sebagaimana dalam sebuah hadis Qudsi: `Carilah
Aku (Allah) di antara orang-orang yang
hancur hatinya!`
Wallahu a’lam bsih-shawab…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar