Kamis, 21 Juli 2011

SAIDA SAENI

Apa yang Kau Cari, Saida-Saeni?
Kemiskinan, kebodohan, dan kesehatan yang
rawan seperti yang senantiasa menjadi obyek
sorotan indeks pembangunan manusia (IPM)
sesungguhnya terangkum dalam dongeng rakyat
Indramayu, Saida-Saeni. Ketika tahun ini IPM
Kabupaten Indramayu dinyatakan berada di
urutan terakhir atau peringkat ke-26 kabupaten/
kota se-Jawa Barat, dongeng rakyat itu seakan-
akan menjelma menjadi kenyataan.
Entah sejak kapan Saida-Saeni muncul menjadi
teman anak-anak dalam ninabobo. Sebagaimana
dongeng, Saida-Saeni memiliki kearifan tersendiri.
Ia menjadi semacam pitutur para orang tua. Ia
mengajarkan tentang berbagai hal, terutama
kemiskinan, kebodohan, tipu daya, dan
ketidakadilan. Akan tetapi, di situ juga ada nilai-
nilai keuletan.
Saida dan adiknya, Saeni, bernasib tragis bukan
hanya karena miskin. Ibunya wafat ketika mereka
masih kecil. Ayahnya, Ki Sarkawi, kemudian
menikah lagi dengan wadon yang ternyata
madep rai mungkur ati (antara wajah dan hati
tidak sama). Hasutan ibu tirinyalah yang
membuat Saida dan Saeni dibuang ayahnya ke
tengah hutan.
Perjuangan kakak-beradik yang kemudian
terpisah itu penuh balada dan elegi,
pengembaraan dan tangisan perih. Sampai
akhirnya nasib mengubahnya.
Saeni, dengan mantra seorang kakek, menjadi
pesinden tarling yang terkenal dan kaya. Akan
tetapi, kekuatan mantra itu ada batasnya sampai
akhirnya ia harus dijemput ajal. Sungai Sewo di
perbatasan Kabupaten Indramayu dan Subang
menjadi latar tragis itu.
Miskin kultural
Nilai-nilai keuletan itulah yang sesungguhnya
hingga kini digenggam warga Indramayu. Secara
tradisi, para nelayan yang jumlahnya terbesar di
Jabar mampu menghasilkan tangkapan ikan yang
juga terbesar.
Secara tradisi pula, para petani mampu
menjadikan Indramayu sebagai lumbung padi
Jabar dan nasional. Namun, bisa dicatat, angka
besar dari Indramayu itu juga ada pada para
dalban (medal ban/mengayuh becak), sopir bajaj,
sopir taksi, ojek sepeda di kota-kota lain, tenaga
kerja wanita di luar negeri, bahkan para pekerja
seks komersial.
Bangga, tetapi juga ironis. Terperangah, tetapi
memang realis. Angka-angka kontemporer dalam
IPM seakan-akan memberikan kaca benggala akan
kondisi sumber daya manusia (SDM) yang tak
beranjak. Ketika dicermati lebih saksama, realitas
itulah yang selama berpuluh-puluh tahun
menggelayuti langit Indramayu.
Saeni mungkin bisa menjadi contoh sebuah
kasus yang diambil dari arifnya fiksi. Akan tetapi,
di situ ada imaji dan kontemplasi. Saeni yang
pantang menyerah tampak tak terarah sehingga
sesatlah jalan yang ditempuh. Saida sebagai laki-
laki justru lemah. Kemiskinan struktural itu
memang teratasi sesaat, tetapi kemiskinan kultural
tetap membelenggu.
Pencarian Saida-Saeni untuk menemukan dunia
yang mencerahkan tak tergapai. Hal itu seperti
yang terjadi pada tataran Kabupaten Indramayu,
yang juga tak beranjak dari kemiskinan,
kebodohan, dan rawannya kesehatan secara
kultural dan struktural. Sumber daya alam yang
berlimpah dari sawah, ladang, tambak, hutan,
laut, dan minyak bumi ternyata tetap membuat
IPM terpuruk.
Wilayah baru
Secara sosiohistoris, Kabupaten Indramayu
menunjukkan wilayah yang masih baru. Sejak
awal masyarakatnya adalah campuran dari
berbagai daerah, yakni suku Jawa (Bagelen
Purworejo, Cirebon, Demak, Brebes, Tegal,
sebagian kecil Sumedang), suku Sunda, juga
China dan Arab. Akulturasi ini pada akhirnya
memperlihatkan kultur baru yang menampakkan
corak Jawa yang ndermayu. Mungkinkah fondasi
kultur dan historis yang tergolong muda
berimbas pada pencapaian pembentukan SDM
yang secara mayoritas juga tidak terlalu kuat?
Catatan sejarah menunjukkan, pengaruh Kerajaan
Sumedanglarang, yang wilayahnya mencapai
sebagian Indramayu, tampak pada abad ke-9.
Namun, sejak abad ke-17 wilayah tersebut
melepaskan diri. Sangat mungkin peninggalan itu
terletak di empat desa di Kecamatan Kandanghaur
dan sebuah desa di Kecamatan Lelea yang tetap
menggunakan bahasa Sunda wewengkon
setempat. Pengaruh Cirebon sangat kentara ketika
kesultanan tersebut berdiri pada abad ke-15.
Wilayahnya sampai utara, yaitu daerah Junti,
Indramayu.
Ketika Kerajaan Sunda berjaya hingga abad ke-16,
Pelabuhan Cimanuk di Indramayu juga dikuasai
dengan ditempatkannya seorang syahbandar. Hal
ini dicatat pengelana Portugis, Tome Pires
(1513-1515). Pelabuhan terbesar kedua di pantai
utara Jabar itu mampu menarik minat pedagang
dari Arab dan China hingga menetap di sepanjang
tepi Sungai Cimanuk.
Selanjutnya, naskah Wangsakerta menyebutkan,
penyerbuan Sultan Agung Mataram ke Batavia
(1628-1629) yang gagal itu membuat pemikiran
baru untuk melakukan bedol desa dari pedalaman
Jawa Tengah ke pantai utara Jabar dalam rangka
mencetak sawah-sawah baru. Wiralodra, salah
seorang laskar dari Bagelen, ditugaskan menetap
di Indramayu, kemudian menjadi Adipati
Indramayu.
Migrasi warga Brebes, Tegal, dan daerah lain ke
wilayah barat Indramayu dilakukan sekitar tahun
1920. Alat transportasi yang mudah, murah, dan
massal, yakni kereta api, digunakan. Saat itu
wilayah tersebut memang eksotik karena sawah-
sawah baru tengah dibuka, irigasi teratur, dan
bendungan sudah selesai dibangun Belanda.
Ketika kini dihadapkan pada terpuruknya IPM,
tangis perih seharusnya pecah di Indramayu.
Tangis perih Saida-Saeni seharusnya hanya fiksi.
Namun, situasi yang terjadi justru sebaliknya.
Spanduk, umbul-umbul, dan pesta kegembiraan
sejak awal Oktober berlangsung dalam euforia
kemenangan kontes pemilu kepala daerah yang
berbaur dengan semarak hari jadi. Ya, apa yang
kau cari, Indramayu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar