Jumat, 22 Juli 2011

lir ilir

Lir-ilir, Lir Ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar
Cah Angon, Cah Angon
Penekno Blimbing Kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo Mbasuh Dodotiro
Dodotiro Dodotiro
Kumitir Bedah ing pinggir
Dondomono, Jlumatono
Kanggo Sebo Mengko sore
Mumpung Padhang Rembulane
Mumpung Jembar Kalangane
Yo surako surak Iyo!!!
Pengantar
Tembang di atas barangkali sudah akrab di telinga
kita, apalagi bagi orang Jawa yang berada di
wilayah penyebaran agama Islam Wali Songo.
Ada yang mencoba menguraikan makna
tembang di atas, baik dalam konteks
hubungannya dengan sejarah, syariat Islam,
sampai kepada hakikat yang terkandung di
dalamnya.
Tulisan singkat ini mencoba menguraikan makna
tembang tersebut. Jika ada kekurangan atau
kesalahan adalah karena keterbatasan penulis
dalam pemahaman, semoga Alloh SWT
memaafkan. Jika ada kebaikannya hal itu semata-
mata datang dari Alloh SWT
Terjemahan Bebas Tembang dan Makna
yang Terkandung
1. Lir-ilir, Lir-ilir
(Bangunlah, bangunlah)
Tandure wus sumilir
(Tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo
(Demikian menghijau)
Tak sengguh temanten anyar
(Bagaikan pengantin baru)
Makna:
Sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun
dari keterpurukannya, bangun dari sifat malas
untuk lebih mempertebal keimanan yang telah
ditanamkan oleh Alloh dalam diri kita, yang dalam
ini dilambangkan dengan tanaman yang mulai
bersemi dan demikian menghijau. Terserah
kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan
tanaman iman kita mati atau bangun dan
berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut
hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan
seperti bahagianya pengantin baru.
Tembang ini diawalii dengan ilir-ilir yang artinya
bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah
(karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan
sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa
yang perlu untuk dibangunkan? Apa yang perlu
dihidupkan? Hidupnya Apa? Ruh? Kesadaran?
Pikiran? Terserah kita apa yang perlu dihidupkan.
Jangan lupa, di sini ada unsur angin. Berarti cara
menghidupkannya adalah dengan menggerakkan
(kita fikirkan ini secara dinamis), gerak yang
menghasilkan udara. adalah ajakan untuk
berdzikir. Inilah usaha untuk menghidupkan
sesuatu itu. Berdzikir, maka ada sesuatu yang
dihidupkan.
Tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak
senggo temanten anyar. Bait ini mengandung
makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan
didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan
pohon yang hijau dan indah. Pohon adalah
sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita.
Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai
Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam.
Demikian maraknya perkembangan masyarakat
untuk masuk ke agama Islam, namun taraf
penyerapan dan implementasinya masih level
pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang
kehidupan pernikahannya.
2 Cah angon, cah angon
(Anak gembala, anak gembala)
Penekno Blimbing kuwi
(Panjatlah (pohon) belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekno
(Biar licin dan susah tetaplah kau panjat)
Kanggo mbasuh dodotiro
(untuk membasuh pakaianmu)
Makna:
Sebutan anak gembala oleh Alloh adalah
perlambang “hati (nurani)” digembalakan. Bisakah
kita menggembalakan hati kita dari dorongan
hawa nafsu yang demikian kuatnya?
Anak gembala diminta memanjat pohon
belimbing yang buahnya bersegi lima. Buah
belimbing menggambarkan lima rukun Islam.
Meski licin dan susah (memanjatnya), kita harus
tetap memanjat pohon belimbing tersebut sekuat
tenaga kita, tetap berusaha menjalankan Rukun
Islam apapun halangan dan resikonya.
Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi.
Mengapa “Cah angon? “ Bukan “Pak Jendral”, “Pak
Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah
angon?” Cah angon adalah seorang yang mampu
membawa makmumnya, seorang yang mampu
“menggembalakan” makmumnya di jalan yang
benar.
Lalu,kenapa “Blimbing?” Belimbing berwarna hijau
(ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Ia merupakan
isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari
5 sisi buah belimbing yang menggambarkan
rukun Islam. Inilah dasar dari agama Islam.
Sedangkan “Penekno” adalah ajakan para wali
kepada Raja-Raja Tanah Jawa untuk mengambil
Islam dan dan mengajak masyarakat untuk
mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan
Islam.
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro.
Walaupun dengan bersusah payah, walupun
penuh rintangan, tetaplah ambil untuk
membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud
pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang
harus dibersihkan. Ini etos hidup Muslim. Untuk
apa semua itu? Gunanya adalah untuk mencuci
(membersihkan) pakaian kita, yaitu pakaian
taqwa.
3. Dodotiro, dodotiro
(Pakaianmu, pakaianmu)
Kumitir bedah ing pinggir
(terkoyak-koyak dibagian samping)
Dondomono, Jlumatono
Jahitlah, Benahilah!!)
Kanggo sebo mengko sore
(untuk menghadap nanti sore)
Makna:
Pakaian taqwa sesekali bisa jadi terkoyak dan
berlubang di sana sini, Kalau sudah begini, kita
diminta untuk selalu memperbaiki dan
membenahinya agar kita siap ketika dipanggil
menghadap Alloh SWT.
Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir.
Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek
jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki,
rajutlah hingga menjadi pakain yang indah.
Bukankah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian
taqwa?“
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko
sore. Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika
kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha
Pencipta untuk mempertanggungjawabkan
segala perbuatanmu. Maka benahilah dan
sempurnakanlah keislamanmu agar kamu
selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.
4. Mumpung padhang rembulane
(Mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung jembar kalangane
(mumpung banyak waktu luang)
Yo surako surak iyo!!!
Bersoraklah dengan sorakan Iya!!!)
Makna:
Kita diharapkan melakukan hal-hal di atas (no 1-3)
ketika kita masih sehat (dialambangkan dengan
terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak
waktu luang. Jika ada yang mengingatkan maka
jawablah dengan Iya!!!
Mumpung padhang rembulane, mumpung
jembar kalangane. Para wali mengingatkan agar
para penganut Islam melaksanakan hal tersebut
ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika
kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika
usia masih menempel pada hayat kita.
Yo surako surak hiyo. Sambutlah seruan ini
dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat
Islam” sebagai tanda kebahagiaan.
Penutup
Lir ilir adalah judul tembang di atas. Ia bukan
sekedar tembang dolanan biasa, tapi tembang
yang mengandung makna mendalam. Ia
mengarahkan hakikat kehidupan dalam bentuk
syair yang indah.
Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari
Arizona University terkagum kagum dengan
tembang ini, beliau sering memainkannya. Maya
Hasan, seorang pemain Harpa dari Indonesia
pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti
filosofi dari lagu ini.
Para pemain Harpa seperti Maya Hasan
(Indonesia), Carrol McLaughlin (Kanada), Hiroko
Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (Amerika
Serikat), dan Lizary Rodrigues (Puerto Rico),
mereka pernah menterjemahkan lagu ini untuk
keperluan bermain dalam musik Jazz pada konser
musik “Harp to Heart“.
Sunan Kalijaga, seperti Sunan-sunan lainnya dari
Wali Songo, beliau suka berdakwah melalui seni.
Lebih dari itu, tembang Sunan Kalijaga ini tidak
lebih sebagai sebuah seruan kebaikan dari
seorang pengemban dakwah. Ia sama saja
dengan tembang-tembang lain yang diniatkan
untuk menggugah mata hati manusia akan
hakikat hidupnya.
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada suatu yang memberi
kehidupan kepada kamu” (QS Al-Anfal: 25).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar