Jumat, 22 Juli 2011

langit kota cirebon menitikan airmata..

TOKOH TARLING WAFAT. FEB 27, '11 3:04 AM
UNTUK SEMUANYA
Innalillahi waina ilaihi roji'un. Tlah wafat
maestro Tarling H. Abdul Adjib ke
pangukuan Allah Swt.
Smoga amal ibadahnya mendapat balasan
setimpal dr Allah swt.
wafat sekitar 13.30. Akan disemayamkan di
desa buyut, mayung Cirebon.
KUTOIPAN ARTIKEL DARI TRIBUN JABAR.
LANGIT di atas Kota Cirebon seakan turut
berduka. Derai air hujan deras Selasa (26/2) sore
tak henti menghantar kepergian jenasah maestro
tarling Drs H Abdul Adjib (69) mulai dari rumah
duka di Jalan Sukasari Kota Cirebon. Ratusan
kerabat, keluarga dan para seniman Cirebon -
yang larut dalam duka atas kehilangan sang
inspirator kesenian daerah Cirebon- turut
mengiringi kepergian sang maestro kesenian khas
Cirebon ini ke tempat perisitirahatan terakhirnya.
Mereka rela basah kuyup diguyur hujan
mengikuti prosesi pemakaman jenazah
almarhum di komplek pemakamam keluarga di
Desa Buyut, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten
Cirebon (8 km dari pusat Kota Cirebon).
Sosok seniman besar yang hingga menjelang
akhir hayatnya masih setia bergelut dengan
kesenian daerah tarling khas, Abdul Adjib, saat-
saat terakhir hidupnya sempat dirawat di RSUD
Gunungjati Kota Cirebon sebulan lebih dan
mengembuskan napas terakir saat mendapat
perawatan khusus di rumah sakit paruparu
Sidawangi, Sumber, Kabupaten Cirtebon.
Kesetiaan terhadap profesinya tak diragukan lagi.
Sebelum masuk rumah sakit, almahum masih
tampil di layar teve lokal secara live dalam acara
Abdul Adjib Show dan sebagai pemateri dalam
workshop tarling di Desa Cisaat yang diikuti 75
orang pemuda/pelajar/mahasiswa dari berbagai
daerah Kabupaten Cirebon.
Bahkan beberapa hari sebelum dirawat sang
maestro mengirim SMS (kepada penulis, Red)
yang isinya semacam amanat yakni, "Ya wis
demi Sumbadi putra Cirebon kang duwe
kepedulian ning nuansa Cirebon, kula bli
keberatan drama tarling Baridin digawe film
Cerbonan. Mudah-mudahan ide mulia Sumbadi
oli keridoane Allh SWT (Ya, sudah demi Sumbadi
putra Cirebon yang punya kepedulian terhadap
nuansa Cirebon, saya tidak keberatan drama
tarling Baridin digawe film Cerbonan. Mudah-
mudahan ide mulia Sumbadi mendapat ridho
Allah Swt)"
Kiprah awal Abdul Adjib dalam dunia tarling
dimulai pada 1964. Bersama kakak kandung
Askadi Sastrasuganda, ia membentuk grup tarling
"Putra Sangkala". Di tangan Abdul Adjib inilah
tarling yang semula sebagai kesenian mlatar
(kesenian beberang/ngamen), berubah drastis
menjadi kesenian panggung. Tarling yang
semula seni musik gitar dan suling, oleh Abdul
Adjib dimodifikasi menjadi seni panggung yang
lebih komplet yakni seni musik, lagu dan seni
drama. Maka pada 1970-an, grup tarling Putra
Sangkala kebanjiran order panggungan, dalam
setahun bisa mentas di 500 panggung orang
hajatan.
Tarling Abdul Adjib inilah yang kini menjadi
trademark kesenian khas Cirebon. Tarling khas
versi Abdul Adjib meski memenuhi kriteria
sebagai seni musik yang berirama tembang
klasik cerbonan dengan waditra (alat musik/
tetabuhan) bukan hanya gitar dan suling, tapi
ditambah gendang, tutukan, gong dan kecrek.
Syair-syiar lagu tarling yang semula asal-asalan,
di tangan Abdul Adjib, syair lagu tarling digarap
dengan penuh nilai sastra Cerbon seperti
wangsalan dengan mengandung nilai humor
cerbonan yang tinggi. Bahkan di atas panggung
orang hajatan, Abdul Adjib paling sering didaulat
untuk mementaskan drama tarling cerita rakyat
"Baridin". Menurutnya, drama tarling Baridin ini
ibarat orang dagang, modal murah dijual mahal.
Modalnya cuma satu cerita Baridin, tapi yang
membeli atau yang nanggap ratusan tuan
pemangku hajat.
Dalam drama tarling Baridin, dialog-dialog
cerbonan terungkap bukan sembarang ucap.
Bagai lirik puisi cerbonan berupa wangsalan,
dengan tiap kata penuh makna. Dalam dialog
berbentuk tembang drama musical tarling
Baridin, terungkap kalimat yang enak didengar
baik liriknya maupun tembangnya. Seperti
tembang yang dibawakan Ratminah;
Pancen Baridin wong lanang bli weru isin//tukar
ning dalan ngomong bli dipikir dingin//Ratminah
bli bakal jodo Baridin//saking Baridin kepengen
kawin. Lalu Baridin menimpali dengan tembang
berlirik; Rujak-rujak merak campuran rujak pace//
ya merak ya manuk bence, ya merak ya manuk
bence// kayae mengkenen dadi wong blesak yen
duit, duit rece// akeh wong wadon pada ngece.
Lalu, ketika Baridin sakit hati lantaran ditolak
lamaran orang tuanya oleh gadis orang kaya
bernama Ratminah, Baridin menembangkan
dengan lirik yang sangat menukik dan penuh
makna kekuatan tekad untuk memperoleh cinta
Ratminah. Lirik tembangnya; Mlayua ning lak-
lakane naga duh nok Ratminah// Baridin karepe
durung maria nok ira//Ngalia ning sejene jagad
mabura teka ning wulan//Tek udag mangsa
wurunga//ngrasa Baridin demene durung mari-
mari.
Bahkan dalam cerita Baridin ini ada sebuah doa
khas Cerbon yang bernama Kemat Jaran Guyang,
yang hingga saat ini menjadi ekspresi beriman
ala pemuda-pemuda Cirebon yang punya nilai
kekurangan baik fisik maupun harta. Doa kemat
Jaran Guyang ala Baridin karya Abdul Adjib ini
berbunyi;
Walau begitu, bukan Niat isun arepan maca
kemat jaran guyang//Dudu ngemat ngemat
tangga, dudu mengat wong liwat dalan//Sing tek
kemat anake bapa Dam//Boca gembleng keceluk
kang aran Suratminah//kang demen njelajah desa
Melangkori//Yen lagi turu gage nglilira//yen wis
nglilir gage njagonga// yen wis njagong gage
ngadega//yen wis ngadeg gage mlayua//
brengengenga kaya jaran//teka welas teka asih//
atine suratminah welas asih ning badan isun.
Selain lagu klasik Baridin dan Kiser Saeda Saaeni,
ia juga mencipta lagu tarling modern yang
popular di antaranya, Warung Pojok, Kota
Cerbon Kembang Jambe Tutup Ketel, Supir
Inden, Tukang Cukur, Bakul Jamu. Bahkan ada
lagu yang terbaru yang belum dirilis yakni
berjudul Aneka Busana.
Dari ratusan lagu dan drama tarling karya Abdul
Adjib, dua karya puncaknya yang hingga hinga
kini terus dikenang dan diingat masyarakat
penggemarnya di Cirebon dan di mancanegara
yakni lagu tarling Warung Pojok dan drama
tarling Baridin. "Jujur saja dalam usia yang sepuh
ini, dua karya inilah yang telah menghidupi
keluarga dan menjadi harta seni yang abadi,"
paparnya saat berbincang-bincang sebelum akhir
hayatnya.
Sebelum mengembuskan napasnya, ketika
ditemui di VIP B RS Gunungjati Cirebon, Abdul
Adjib masih menyatakan kegelisahannya saat
menatap perkembangan kesenian khas kota
udang ini makin porak porandakan oleh ulah
sejumlah oknum seniman yang cuma
mengedepankan prinsip dagang hiburan. Setelah
awal 1980-an tarling dimanipulasi menjadi tarling
dangdut dan 2010-an tarling berubah wujud
menjadi oragan tarling; yang syair dan tembang
dalam tarling dangdut maupun organ tarling
digarap secara amburadul tanpa berpegang
moralitas relegiusitas. Sehingga kesenian khas
Cirebon ini nyaris tenggelam dalam kenestapaan
yang panjang.
Abdul Adjib dalam kegelisahannya hingga akhir
hayatnya tetap menolak keras adanya predikat
tarling dangdut atau organ tarling. Baginya, tarling
dangdut dan organ tarling makin mengaburkan
identitas dan karakteristik tarling itu sendiri.
Prinsip sang maestro yang selalu didengung-
dengungkan di setiap pertemuan dimanapun
adalah: "Aja sampe naro sujen ning duwur meja,
karung teles nggo wada dedek. Deke wong
dipujapuja deke dewek diedek-edek." (Jangan
sampai menaruh tusuk sate diatas meja, karung
basah dipakai tempat dedak. Punya orang dipuja-
puja punya sendiri diinjak-injak).
Cirebon tanpa tarling ya bukan Cirebon. Tarling
tanpa Abdul Adjib ya bukan tarling. Lalu haruskah
masyarakat Cirebon yang baru terobati
kerinduannya terhadap tarling khas, kembali
menarik napas panjang meratapi nasib tarling
yang tersengal tanpa sang maestro? Entahlah.
Yang jelas almarhum Abdul Adjib telah
membangkitkan tarling menjadi sebuah tontonan
dan tuntunan yang berarti.Semoga. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar