Jumat, 22 Juli 2011

gusti Allah tidak ndeso..

Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah Tidak Ndeso
Oleh: Anjar Anastasia | 19 May 2011 | 08:10 WIB
Arsip lama saya tentang tulisan dari Cak Nun.
Rasanya masih relevan dengan kondisi sekarang.
Matur nuwun, Cak….
Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah Tidak Ndeso
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong
pertanyaan beruntun. “Cak Nun,” kata sang
penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-
tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang
harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk
shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau
mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit
akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?”
Cak Nun menjawab lantang, “Ya, nolong orang
kecelakaan.”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak
sembahyang?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu,” jawab Cak
Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya
mau masuk surga tidak ngajak-ngajak. Dan lagi
belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang
yang memperlakukan sembahyang sebagai credit
point pribadi.”
Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu
juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid,
melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu.
Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah
orang. Kata
Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit,
Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur
orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.
Kalau engkau memberi makan orang kelaparan,
Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira
Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini.
Pertama, orang yang shalat lima waktu,
membaca al-quran, membangun masjid, tapi
korupsi uang negara. Kedua, orang yang tiap hari
berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan
hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit,
dan mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-
quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan
penuh kasih sayang?”
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang
ketiga.
Kalau korupsi uang negara, itu namanya
membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan
membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak
sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang
orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan
penuh kasih sayang, itulah orang yang
sesungguhnya sembahyang dan membaca al-
quran. Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya
diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan
seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia
hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan
hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang
sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan
dengan orang lain, memberi, membantu sesama.
Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa,
atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan
memiliki perilaku yang santun dan berkasih
sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku.
Agama adalah sikap. Semua agama tentu
mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta
kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca
al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura,
menurut saya, kita belum layak disebut orang
yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita
tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir
miskin, memberi makan anak-anak terlantar,
hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya
bukan dari kesalehan personalnya, melainkan
diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan
pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama
adalah orang yang bisa menggembirakan
tetangganya. Orang beragama ialah orang yang
menghormati orang lain, meski beda agama.
Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan
sosial pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas).
Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang
bukan haknya. Karena itu, orang beragama
mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial
tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan
dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa
meter darinya, orang-orang miskin meronta
kelaparan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar