Jumat, 22 Juli 2011

Allah Maha Kangen dan Maha Pencemburu

SUATU hari, saat melintas di jalan tol Jagorawi
dari arah Jakarta menuju Bogor, saya membaca
papan lalu lintas di sisi kiri jalan yang berisi
informasi kecelakaan di jalan tol tersebut yang
terjadi selama setahun terakhir. Jumlah korban
tewas maupun luka-luka jumlahnya cukup
fantastis. Angka itu jauh lebih besar dibandingkan
angka kecelekaaan yang terjadi di jalan raya
Bogor menuju Puncak. Hal itu membuat hati saya
sibuk mengira-ngira penyebab hal itu.
Selanjutnya, saya pun bercakap-cakap dengan
diri sendiri, kenapa di jalan tol yang secara fisik
lebih mulus, tidak berliku, dan lebih mudah dilalui
justru lebih sering terjadi kecelakaan. Jangan-
jangan penyebabnya justru tak hanya
keterampilan mengemudi belaka. Jangan-jangan
penyebabnya juga tak sekedar menyangkut fisik
infrastruktur jalan raya saja. Barangkali ada hal-hal
yang lebih bersifat kepribadian dan kejiwaan
seorang pengemudi. Demikian saya sibuk
menduga-duga.
Dalam hidup ini, orang yang senantiasa
berkecukupan dan jauh dari segala kesulitan
hampir dapat disamakan dengan seseorang yang
berkendara dan mengemudi mobil di jalan tol.
Jalan yang demikian lurus, mulus, dan bebas
hambatan, cenderung melenakan. Berbeda
misalnya dengan kalau kita mengemudi di jalan
raya menuju Puncak Pass. Jalannya begitu
berkelok-kelok, penuh tanjakan dan turunan,
bahkan di salah satu sisi jalan terdapat jurang
yang cukup dalam. Pada situasi sulit seperti itu
justru membuat orang menjadi lebih waspada
dan sangat hati-hati.
Demikian pula sikap manusia pada umumnya
dalam menjalani kehidupan ini. Hidup yang
berkecukupan, baik dari segi materi maupun
kasih sayang, malah membuat manusia terbuai.
Kesibukan menikmati segala kelebihan tersebut
akan membuat manusia lupa pada Allah – Sang
Pemberi Hidup. Padahal, Allah lah yang telah
melimpahkan semua nikmat dan karunia
tersebut. Kesibukan menikmati kekayaan,
perhatian, dan cinta kasih berlimpah dari
sekeliling, apakah dari keluarga, teman, sahabat,
pacar, suami atau istri, membuat Allah tersisih
dan tak lagi dikangeni.
Saya setuju dengan istilah budayawan Emha
Ainun Nadjid yang mengatakan bahwa Allah itu
pencemburu. Dia tak mau diduakan dan
dibanding-bandingkan dengan apa pun. Bahkan,
menurut saya, Allah itu juga “Maha Kangen.” Dia
terus saja “menarik-narik” perhatian dan ingatan
kita agar senantiasa tertuju kepada-Nya. Kita tak
boleh mencintai apa pun di dunia ini melebihi
cinta kita kepada-Nya. Kita tak boleh kangen pada
apa pun di muka bumi ini melampaui kangen kita
pada-Nya. Kita boleh cinta dan boleh kangen pada
apa pun, asal orientasinya adalah minallah-ilallah-
billah-lillah. Dari Allah-untuk Allah-dengan Allah-
milik Allah.
Seorang teman yang dikhianati kekasihnya,
menangis berhari-hari. Ada pula teman lain yang
sedih berkepanjangan karena suami yang
dicintainya pergi menghadap Allah. Dan di sebuah
rumah mewah seorang laki-laki terkapar tak
berdaya karena gagal terpilih kembali menjadi
gubernur. Mereka sedih dan terluka oleh perasaan
kehilangan yang amat sangat. Dalam kesedihan
yang memuncak itulah mereka ingat Allah dan
merintih menyebut-nyebut asma-Nya. Allah yang
selama bertahun-tahun hanya sesekali muncul
dalam lintasan pikiran. Allah yang tak pernah
sempat diingat karena sibuk dengan berbagai
kesenangan.
Karena Allah “Maha Kangen,” maka Ia selalu
punya cara untuk membuat kita kangen pada-
Nya. Dia juga selalu punya cara untuk membuat
kita (lagi-lagi) jatuh cinta pada-Nya. Di antaranya
adalah dengan cara seperti kasus di atas.
Keterpisahan secara fisik maupun hati antara kita
dengan orang yang kita kasihi, dan keterpisahan
antara kita dengan pangkat dan jabatan yang
pernah kita genggam, akan membuat kita merasa
sangat nelangsa. Karena secara naluriah setiap
orang memiliki sense of spiritualism, maka dalam
situasi sangat sedih seperti itu sudah pasti akan
“lari” dan mengadu pada Allah.
Saya teringat pada kisah masa lalu, saat menjalani
hubungan percintaan yang sangat romantis
dengan seseorang. Kisah cinta yang terjalin
selama tiga belas tahun hancur berkeping-keping,
dan saya sangat patah hati. Dalam puncak
kesedihan, saya pun bersimpuh dengan air mata
berderai-derai seraya memanjatkan doa yang
saya kutip dari Munajat Cinta Rabbi’ah Al-
Adawiyah:
“Tuhanku
Tenggelamkan diriku dalam samudera
Keikhlasan mencintai-Mu
Sehingga tak ada sesuatu yang menyibukkanku
Kecuali berzikir kepada-Mu.”
Sejak itu saya patah arang. Saya tak lagi bisa jatuh
cinta secara romantis dan berbunga-bunga. Pada
akhirnya, memang hanya cinta Allah yang tak
berubah oleh ruang dan waktu. Hanya Allah yang
kesetiaannya tak terhingga. Dan, hanya Allah
yang punya kangen bergunung-gunung dan
cinta tak berujung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar